Namun saya yang memang dari awal menahan diri untuk tidak berharap lebih tidak begitu terkejut atas reaksinya terhadap pernyataan saya, bahwa dia lebih menyukai kesendiriannya saat ini, bahwa dia tidak menyukai keterikatan perasaan terhadap seseorang dan menurutnya pilihannya sekarang membuatnya leluasa.
Saya hanya mengiyakan, saya tak menanggapi maupun menyanggah yang saya tahu hanya akan menciptakan debat yang tak bermanfaat. Saya lantas berpikir bahwa luar biasa sekali masa lalunya, sampai membuatnya apatis begini terhadap cinta. Mungkin saja sekarang mantannya sedang bahagia-bahagianya dengan pacar barunya. Tidakkah dia punya keinginan untuk menyudahi kesendiriannya walau tidak dengan saya tapi tak ada salahnya membiarkan orang lain menjelma menjadi tabin untuk hatinya yang sudah kronis dan tragis?
Sehabis percakapan tersebut di WhatsApp ( ya, saya menyampaikannya tidak dengan lisan ) saya tenggelam dengan pikiran saya sendiri, dihinggapi kantuk dan rasa gelisah. Bagaimana saya tidak gelisah, meskipun sudah berani mengutarakan perasaan yang sebenarnya, tapi tahu bahwa cinta kita tak berbalas sedih juga kan? Bohong sih jika saya bilang saya sepenuhnya sudah lega, lega apanya tidur saya malam itu berkali-kali terjaga.
Besok malamnya dia meminta untuk ditemani makan di luar, lalu saya menyanggupi begitu saja yang artinya saya mengingkari komitmen yang sudah dibuat untuk tidak bertemu dengannya dulu sementara. Tapi apa boleh buat saya sudah mengiyakan, dan walaupun pada awalnya saya bertekad dan berniat akan bersikap biasa saja, layaknya dua teman akrab yang saling melempar ejekan dan candaan receh, tapi lagi-lagi teori selalu membohongi. Malam itu setelah menemaninya makan, kami seperti yang sudah-sudah akan terlibat dalam satu obrolan yang panjang, tapi rasa canggung menguasai saya malam itu, tak bisa ditutupi. Salah tingkah dan untuk pertama kalinya saya tidak merasa nyaman berada lama-lama di dekatnya. Dia pasti menyadari sikap tak biasa saya, dan sungguh kesalahan dia tetap menanyakan ada apa dengan saya malam itu, dengan setengah kesal saya katakan padanya bahwa kecanggungan malam ini mohon dimaklumi dan ini timbul akibat sesuatu yang terjadi di antara kita meskipun Cuma searah tapi efeknya tahu sendiri kan , luar biasa. Khawatir terjadi sesuatu yang lebih tidak mengenakan lagi, tanpa mengurangi rasa hormat saya meminta dia undur diri dan kami berpisah malam itu.
Saya tahu betul bahwa yang dia butuhkan sekarang hanya seorang teman yang bisa membuatnya nyaman tanpa embel-embel perasaan. Lalu salahkah jika saya menyayangi dia? Salahkan jika saya ingin melihat dia bangkit dari keterpurukan karena putus cinta?
Seseorang, tolong beritahu dia bahwa saya tak keberatan jika diminta untuk menyuapinya tiap kali kita makan di luar bersama (seperti yang sudah-sudah) di samping karena saya suka melakukannya, pun di setiap suap tersebut terdapat harapan-harapan bahwa saya ingin melakukannya setiap hari, tiap jam makanmu kalau perlu.
Tolong beritahu dia, bahwa tidak ada yang abadi termasuk sepi dan sendiri. Dia tidak bisa selamanya begini, kesempatan yang baik itu dijemput bukan ditunggu. Mereka bilang kalau jodoh tak ke mana, tapi jika berdiam diri minim usaha akan semakin jauh saja dia menjumpai jodohnnya.
Beritahu dia juga bahwa saya ingin menikah dengan keturunan suku jawa, satu propinsi kalau bisa. Agar nanti saat silaturahmi lebaran , jarak yang ditempuh bisa direngkuh dalam hari yang sama. Jangan terlalu meninggikan egonya, mau mencari yang seperti apa? Saya sadar saya kalah cantik dibanding pacarnya yang dulu, tubuhnya tak berlebih lemak tak seperti saya. Tapi jika itu alasannya tak bisa membalas cinta saya, suruh dia mengulang bangku SD saja.
Satu lagi, kita pernah berfoto dalam satu frame mengapit mempelai, tak inginkah kita berdua yang diapit? Tak inginkah dia saya layani sebagai seorang suami?
Saya terkesan memaksakan ya, biarlah biar pikirannya terbuka. Mungkin saya harus memompa rasa sabar saya, menanti dan berdoa agar dia bisa berlaku sama pada saya, dalam perasaan dan semuanya. Saya jadi ingat satu percakapan memorable dalam novel terbaru Ika Natassa , saya sedang menunggu novel tersebut sampai ke tangan saya. Tokoh utama pria dalam novel tersebut sedang mengalami kesedihan yang mendalam karena kehilangan, lalu sang tokoh wanita datang mencoba menyembuhkan dan menyemangatinya karena mereka berdua salam situasi yang sama, yakni sama-sama pernah mengalami kehilangan, maaf jika saya salah informasi tapi saya minta tolong lagi katakan kalimat manis ini padanya, kalimat ini disampaikan Raia pada River, bahwa:
“Disayangi itu menyenangkan”
Terima kasih dan maaf sudah merepotkan kalian.

0 Komentar