Baju baru...
Bertoples-toples kue lebaran...
THR...
Mudik...
Apa lagi yang kurang ya? Oh maaf lupa memberitahu saya sedang membuat list khas lebaran, yang saya sebutkan di atas sudah mentok atau memang ‘standart’ saya ya sampai di situ saja. Anyway, bagaimana puasanya? Sudah berapa hari tak puasa? Sudah ada berapa undangan buka bersama yang terlewatkan. Saya merasa setiap ramadhan akan ada cerita berbeda setiap tahunnya, yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya adalah saya akan menjalakan ibadah buka puasa, tarawih dan sahur sendirian, dalam arti jauh dari keluarga. Meskipun ada banyak keluarga pengganti di sini, cuma rasanya tak akan pernah sama.
Sudah beli baju lebaran berapa?
Saya selalu menanyakan ini pada anak kecil di musholla dekat kostan saat sholat Tarawih, lalu dengan malu mereka menjawab ada yang baru 1 potong, 3 potong bahkan 7 potong tapi yang 7 potong ini usut punya usut dia hitung rombongan dengan baju milik kakak-kakaknya. Tapi jika dari mereka menjawab 1 potong, saya akan ajukan pertanyaan ke dua:
Kok Baru 1?
Anak kecil itu kan peniru dan pemikir andal ya, jadi mohon maaf untuk para orang tua yang kaget anaknya sepulang tarawih selain meminta cium tangan mereka juga minta ditambah jatah baju lebarannya. Saya nggak ikut-ikutan Pak, Bu.
Lebaran itu hari di mana seharusnya kita merayakan kemenangan, kemenangan atas sebulan penuh berpuasa menahan hawa nafsu, amarah, rasa lapar dan dahaga, menahan rasa kalap ketika berbuka dan menahan rasa kantuk luar biasa ketika waktu sahur tiba, saya akan menjawab demikian jika ada yang menanyakan ke saya apa arti lebaran menurut anda. Jadi menurut jawaban saya di atas, saya rasa tak perlulah itu baju lebaran dan kue lebaran diutamakan. Ya bolehlah tapi jangan sampai bermewah-mewah (yang mewah cukup Bakmie saja, kita jangan ya) jangan sampai euforia menyambut lebaran melunturkan arti sebenarnya Lebaran. Kembali ke Fitri, suci, tanpa dosa. Makanya tiap kali saya mengunjungi kampung halaman Bapak saya di Magelang saya selalu merasa kagum dan malu, saya terkagum dengan kesederhanaan mereka menyambut lebaran, meskipun banyak makanan tapi mereka lebih mengutamakan silaturahmi, mereka menyediakan banyak makanan untuk tamu yang datang berkunjung. Tak pernah saya jumpai satu dari warga kampung memakai baju lebaran yang terkesan mewah, jika tak percaya terserah anda tapi saya ini orangnya pantang mengada-ada. Lalu saya akan dibuat malu sepulang dari sana, berkaca pada tingkah sendiri yang heboh ketika lebaran menjelang. Mulai dari menyiapkan baju lebaran dkk, dari mulai sandal dan jilbab yang akan dipakai. Semuanya harus terlihat sempurna demi menunjang penampilan nanti di hari Fitri. Untuk apa? Ya biar semua terkagum sama saya dan semua perhatian serta pujian mengalir ke saya, bahwa saya ini cantik luar biasa*, bahwa saya merantau ke Ibu kota tak sia-sia lalu dengan begitu Bapak Ibu saya akan bangga dengan puji-puji dari tetangga dan saudara. Sungguh saya malu luar biasa, tapi jangan khawatir itu saya yang dulu, yang sekarang sudah berubah, kalau tak percaya sini mainlah ke rumah akan saya suguhi soto terenak di dunia buatan ibu saya.
Merunut pada judul di atas, harusnya taubatnya saya akan lebaran juga diikuti orang yang masih salah dalam memaknai hari Lebaran. Karena sampai lebaran tahun lalu saya masih melihat beberapa orang masih berlebihan saat lebaran. Entah dari baju, gadget yang mereka pakai untuk ber-selfie, anggaplah saya ini berburuk sangka menganggap mereka bermewah-mewah walaupun sebenarnya itu mereka dapat dari hasil jerih payah dan mereka bukannya mau pamer tapi mau berbagi informasi bahwa ini lho, saya merantau sudah dapat ini, sudah bisa membeli handphone baru dan kamera baru, saya sudah bisa membelikan Ibu saya emas, dan tengoklah beliau sudah seperti toko emas berjalan, begitu? Persepsi orang terhadap kita, kita memang tak punya kuasa untuk mengendalikan tapi kita masih punya kesempatan untuk mengontrol diri kita sendiri sehingga pikiran buruk tentang kita tak sampai ada. Kita kan mahluk sosial jadi makin hari sudah sepantasnya kita makin bijak bertetangga.
Kembali pada list yang saya buat, mungkin beberapa orang akan punya standar sendiri lebaran mereka harusnya menjadi seperti apa dan bagaimana. Dan saya yakin sepenuhnya akan ada sejumput rasa bangga beranak pamer diri di sana, ini yang saya sayangkan, ini yang saya ingin semua orang tinggalkan dan tanggalkan.
Sederhanalah dalam apapun karena yang berlebihan itu tak pernah baik, tak akan pernah menjadi baik pada akhirnya. Termasuk saat lebaran, karena makna Lebaran itu kembali ke Fitri bukan kembali pamer diri.
0 Comments