Menjalani LDR (Long Distance Relationship) bukanlah perkara mudah bagi saya dan ribuan pasangan lain di dunia ini. Meski teramat sangat tidak mudah, tapi entahlah, mengapa sampai detik ini saya masih betah saja menjalani LDR, bahkan LDM (Long Distance Marriage). Entah karena keadaan yang mengharuskan (ekonomi dan sosial) atau memang saya yang begitu ketagihan merasakan sakit dan beratnya LDM. Wah bahaya nih kalau ternyata saya memang ketagihan... jangan-jangan saya ini punya kelainan, hihihi...
Dari urusan lampu mati, genteng bocor, mesin cuci ngadat, plafon rumah penuh sarang laba-laba, jadi perawat untuk anak sakit, jadi hansip, pipa bocor, dijamin saya memang bukan ahlinya, tapi gara-gara keadaan yang memaksa lama-lama jadi lumayan jago juga menyelesaikan semua masalah yang ada di rumah. Belum lagi tengah malem harus ke UGD nganter anak yang mendadak panas tinggi, dan nyaris dehidrasi atau bahkan tengah malem nganterin diri sendiri ke UGD karena kondisi yang darurat dan terpaksa nitipin anak ke tetangga... Itu sudah pernah saya alami.
Dari semua yang telah saya alami, hal paling berat yang harus saya hadapi adalah perkara "rindu". Ooohhh adek lelah bang... Bila harus menanggung rindu yang lebih dalam dari lautan, lebih besar dari dunia, dan lebih tinggi dari langit ini (Hahaha... hiperbolanya kumat!). Tapi percayalah, hal paling nikmat ketika puasa adalah saat berbuka, begitupun rindu, hal yang paling nikmat adalah ketika bertemu, meski hanya seminggu sekali dan waktunya sangat sebentar sekali, tapi nikmatnya lebih dalam daripada lautan, lebih besar dari dunia, dan lebih tinggi dari langit.
Menjaga hati dan pikiran tak kalah sulit dari menahan rindu. Ya sudah, saya ngelus dada saja. Terkadang saya memang harus maklum pada diri sendiri, karena pertanyaan tentang kesetiaan pada hubungan jarak jauh itu porsinya 1.000 kali lipat lebih sering daripada yang terjadi pada hubungan normal, saya hanya bisa mencoba berdamai dengan keadaan dan perasaan. Dibutuhkan keteguhan hati dan komitmen yang sangat-sangat kuat untuk menjalani LDM. Saya tidak mau kalah dengan rasa cemburu dan kekhawatiran yang berlebihan. Kesetiaan itu mahal, dan gak akan bisa dilakukan oleh orang murahan. Dan saya bukan orang murahan, jadi saya yakin saya bisa setia, begitu juga dengan suami saya.
Saya sangat bersyukur hidup di era modern ini, karena jarak dan waktu sepertinya sudah hampir bisa terbeli oleh kuota internet. Kemajuan teknologi sangat membantu dalam menjaga komunikasi kami. Tidak terbayangkan jika kami menjalani LDM pada jaman dahulu yang hanya bisa berkirim surat. Di jaman sekarang sudah ada aplikasi video call yang sangat membantu saya untuk bisa melihat kondisi kegantengan suami saya kapanpun dan di manapun (asal sinyalnya oke, hihihi). Yah... lumayan, bisa mengobati rasa kangen.
Banyak sekali yang bilang "Aduh kasihan sekali mbak ini, dari hamil sampai punya anak ngapa-ngapain sendiri, semua urusan diborong sendiri, suaminya jauh, udahlah resign aja ngikut suami, biar hidupnya terjamin, aman dan nyaman bareng suami". Oke, tidak ada yang salah memang dalam pernyataan tetangga saya ini. Tapi ada sedikit yang perlu diperbaiki, saya merasa saya tidak perlu dikasihani, bahkan saya merasa saya sama sekali tidak pantas mendapat predikat "kasihan". Yang perlu dikasihani adalah mereka para istri yang kerjaanya minta uang ke suami, buat beli inilah, buat beli itulah, buat perawatan inilah, perawatan itulah, buat kongkow ke sinilah, kongkow ke situlah. Ujung-ujungnya suami kudu susah payah korupsi duit yang bukan menjadi haknya. Kasihan sekali yah mereka?
Daripada energinya terbuang untuk mengasihani korban-korban LDM seperti saya, kenapa tidak dipakai saja untuk mencontoh apa yang sedang saya dan orang-orang yang senasib saya lakukan ini? Saya memang apa-apa serba sendiri, jauh dari suami, banyak juga hak-hak saya yang hilang. Tapi saya yakin perempuan-perempuan seperti saya adalah perempuan yang mandiri, pekerja keras, tangguh, serta dapat diandalkan, dan yang terpenting adalah menjadi kebanggan suami tentunya. Ingat...!!! Ini udah 2016 looohhh, wanita cantik kalah jauh sama wanita yang setrooonnggg. Ya kali aja, habis ini saya jadi duta keperkasaan wanita Indonesia tahun 2016 tingkat kecamatan, hihihi.
Jadi intinya,
Apakah LDM sulit? Iya.
Apakah LDM berat? Tidak diragukan lagi.
Apakah LDM menyakitkan? Tentu.
Apakah LDM menguras hati, tenaga, dan pikiran? Tidak usah ditanya lagi
Apakah LDM Asyik? Emmmm... Terkadang LDM jauh lebih asyik daripada main roller coster. Bisa membayangkan bagaimana hati kita di bolak balik dengan kecepatan yang super cepat? Saya selalu bangga mengucapkan “Life Is Never Flat”. Sebab, tentu akan berbeda rasanya ketika kita merasakan hidup yang biasa-biasa saja dengan yang merasakan hidup yang begitu berwarna, selain tidak membosankan, pastinya akan banyak sekali pelajaran dan pengalaman yang bisa kita dapatkan dari sana.
Meskipun berat, mungkin sudah sepatutnya saya berterimakasih kepada LDM yang selama ini banyak sekali memberikan saya pelajaran. Dan saya percaya bahwa akan ada pelangi selepas hujan, akan ada turunan setelah tanjakan, dan akan ada kebahagiaan setelah perjalanan yang berat dan panjang. Kalo kata orang sih, ujian yang berat akan menghasilkan lulusan yang berkualitas.
2 Comments
Waoooww,,ketemu wanita yg ternyata juga sm dgn aku.slamt setrong yaa saay,,
ReplyDeleteIya say..toss dulu laahh..hehehe
ReplyDelete