Saya baru dua bulan ini menginjakan kaki di kota Tangerang karena suami saya bertugas di sini. Saya pikir kota ini sama dengan kota kelahiran saya. Saya memaklumi jika dari segi harga di Tangerang jauh lebih mahal dibandingkan di Bogor, meski awalnya sangat kaget karena saya pribadi mempunyai prinsip tidak mau hidup boros. Mungkin ini hanya perasaan saya saja dan saya anggap ini adalah proses untuk menyesuaikan diri di tempat baru. Saya sibuk mencari sekolah untuk si bungsu, dan ketika saya sudah menemukan sekolah yang pas saya pun memenuhi segala persyaratan dan semua administrasi sekolah telah saya lunasi. Namun sekali lagi saya temukan perbedaan di sini, dari segi pelayanan yang saya terima sungguh jauh dari kesan ramah seperti yang saya peroleh di Bogor. Seragam yang seharusnya menjadi hak anak saya belum juga saya terima, setiap hari saya meminta tapi respon yang saya dapat hanya alasan mereka yang mengatakan jika kunci lemari hilang. Sangat memungkinkan jika alasan mereka yang sebenarnya adalah karena kemalasan menjahitkan baju seragam untuk satu anak. Saya akan memaklumi jika mereka memberikan alasan yang sebenarnya dan saya pun pasti akan menunggu.
Tidak selesai di situ pengalaman saya tinggal di tempat baru, saat saya dan suami saya pulang ke Bogor karena sebuah urusan, kami pun harus kembali ke Tangerang pada malam hari, untungnya kami memakai motor jadi kami bisa sampai di rumah lebih cepat. Di perjalanan, anak kami merengek meminta dibelikan buah durian, kami pun berhenti di salah satu penjual durian. Saya memilih satu persatu durian meski sama sekali tadak paham mana durian yang bagus dan saat memilih durian datang pembeli yang lain, sosok laki-laki gagah dengan mobil mentereng dia pun memilih durian, tiba-tiba si penjual berkata :
"Jangan Om yang ini buahnya jelek", Serunya.
Kemudian laki-laki itu menunjukan lagi buah durian yang lain, sekali lagi si penjual itu berkata :
"Yang itu juga jelek bos masih mentah, belum ada durian yang bagus",
Dalam hati saya terkagum ternyata di sini masih ada pedagang yang jujur soalnya selama tinggal di kota ini saya berkali-kali tertipu. Saya memberanikan diri membeli dua buah durian yang harganya menurut saya sangat mahal, seratus ribu untuk 2 buah durian. Dalam hati sudah kegirangan karena di Bogor dengan harga yang sama saya sudah bisa mendapatkan durian yang lezat. Saya pun meminta si penjual memilihkannya untuk kami, pasti si penjual lebih tahu mana durian yang bagus karena dari kata-katanya pun dia pedagang yang jujur. Sesampainya di rumah kami sudah tidak sabar ingin menikmatinya. Saat buah duriannya dibelah suamiku mulai mencicipiya dan ternyata sama sekali tidak ada rasanya. Mungkin yang lain pasti manis, satu persatu belahan durian itu dibuka dengan sangat kecewa tidak ada satu pun durian yang bisa dimakan, semuanya mentah dan busuk. Daging-daging durian itu diletakan di piring oleh suami saya. Ada gurat kecewa di wajah si bungsu dan saya mencoba menghibur dengan mengatakan bahwa buah duriannya akan saya buat kolak. Tapi rasa kecewa tidak bisa hilang begitu saja dari wajahnya.
Tidak selesai di situ pengalaman saya tinggal di tempat baru, saat saya dan suami saya pulang ke Bogor karena sebuah urusan, kami pun harus kembali ke Tangerang pada malam hari, untungnya kami memakai motor jadi kami bisa sampai di rumah lebih cepat. Di perjalanan, anak kami merengek meminta dibelikan buah durian, kami pun berhenti di salah satu penjual durian. Saya memilih satu persatu durian meski sama sekali tadak paham mana durian yang bagus dan saat memilih durian datang pembeli yang lain, sosok laki-laki gagah dengan mobil mentereng dia pun memilih durian, tiba-tiba si penjual berkata :
"Jangan Om yang ini buahnya jelek", Serunya.
Kemudian laki-laki itu menunjukan lagi buah durian yang lain, sekali lagi si penjual itu berkata :
"Yang itu juga jelek bos masih mentah, belum ada durian yang bagus",
Dalam hati saya terkagum ternyata di sini masih ada pedagang yang jujur soalnya selama tinggal di kota ini saya berkali-kali tertipu. Saya memberanikan diri membeli dua buah durian yang harganya menurut saya sangat mahal, seratus ribu untuk 2 buah durian. Dalam hati sudah kegirangan karena di Bogor dengan harga yang sama saya sudah bisa mendapatkan durian yang lezat. Saya pun meminta si penjual memilihkannya untuk kami, pasti si penjual lebih tahu mana durian yang bagus karena dari kata-katanya pun dia pedagang yang jujur. Sesampainya di rumah kami sudah tidak sabar ingin menikmatinya. Saat buah duriannya dibelah suamiku mulai mencicipiya dan ternyata sama sekali tidak ada rasanya. Mungkin yang lain pasti manis, satu persatu belahan durian itu dibuka dengan sangat kecewa tidak ada satu pun durian yang bisa dimakan, semuanya mentah dan busuk. Daging-daging durian itu diletakan di piring oleh suami saya. Ada gurat kecewa di wajah si bungsu dan saya mencoba menghibur dengan mengatakan bahwa buah duriannya akan saya buat kolak. Tapi rasa kecewa tidak bisa hilang begitu saja dari wajahnya.
Setelah suamiku selesai sholat dan mengaji dia meminta saya membawa daging-daging durian yang ada di piring serta memasukan kulit-kulit durian ke dalam plastik kresek lantas mengajak saya untuk kembali menemui si penjual buah durian tersebut. Ketika sampai di tempat buah durian tadi, si penjual tadi sedang asyik bermain gaple dengan teman-temannya. Dan tanpa membuang waktu suami saya memberikan piring berisi daging durian tadi.
"Mas, gak ada yang bisa dimakan nih, padahal saya beli gak murah lho. Seratur ribu dua buah”, Ucapnya tanpa ada kemarahan sedikit pun. Si penjual durian masih tak bergeming.
“Tadi mas bilang ke lelaki yang bermobil katanya semua durian jelek lalu kenapa mas malah menjualnya ke kami. Saya pikir mas orangnya jujur. Tapi yang kami terima malah durian yang jelek”, Imbuh saya.
"Mas, gak ada yang bisa dimakan nih, padahal saya beli gak murah lho. Seratur ribu dua buah”, Ucapnya tanpa ada kemarahan sedikit pun. Si penjual durian masih tak bergeming.
“Tadi mas bilang ke lelaki yang bermobil katanya semua durian jelek lalu kenapa mas malah menjualnya ke kami. Saya pikir mas orangnya jujur. Tapi yang kami terima malah durian yang jelek”, Imbuh saya.
"Ya udah saya ganti!”, Jawabnya.
"Terima kasih mas, tapi kami menolak", Jawab suami saya.
"Lain kali mas berjualan itu jangan di lihat orang yang datang itu dengan bermobil mewah atau hanya dengan bersepeda motor. Layani lah sama baik nya", Saya ikut menambahkan.
Penjual tadi menawarkan piring yang kami bawa tapi kami menolak dengan mengucap terima kasih.
Ada sebuah kelegaan di hati kami, meski gagal menikmati durian tapi ada sebuah pembelajaran hidup yang kami dapat. Yang pertama, kami belajar tentang sebuah keikhlasan ternyata meski sudah di tangan itu belum tentu rezeki kita. Yang kedua kami melihat dua sisi di mana saat kami memakai mobil kami begitu dihargai, di puja-puja, tapi saat kami memakai motor kami dianggap manusia yang tidak berharga ternyata manusia dilihat hanya dengan apa yang dia punya. Ketiga ternyata kejujuran sangat langka di kota ini.
"Lain kali mas berjualan itu jangan di lihat orang yang datang itu dengan bermobil mewah atau hanya dengan bersepeda motor. Layani lah sama baik nya", Saya ikut menambahkan.
Penjual tadi menawarkan piring yang kami bawa tapi kami menolak dengan mengucap terima kasih.
Ada sebuah kelegaan di hati kami, meski gagal menikmati durian tapi ada sebuah pembelajaran hidup yang kami dapat. Yang pertama, kami belajar tentang sebuah keikhlasan ternyata meski sudah di tangan itu belum tentu rezeki kita. Yang kedua kami melihat dua sisi di mana saat kami memakai mobil kami begitu dihargai, di puja-puja, tapi saat kami memakai motor kami dianggap manusia yang tidak berharga ternyata manusia dilihat hanya dengan apa yang dia punya. Ketiga ternyata kejujuran sangat langka di kota ini.
0 Comments