Kapan terakhir kali merasakan patah hati? Beruntunglah kalian yang tidak bisa menjawab pertanyaan itu, artinya kalian tidak pernah merasakannya atau kalian telah benar-benar lupa. Dan jawaban saya atas pertanyaan di atas adalah :
Satu
bulan yang lalu
And I’m still counting…
Saya
masih ingat betul dan masih menghafal
adegan di malam itu, di mana saya dan - someone
that I can’t tell you who is he - memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita yang
telah kita jalin selama hampir sebulan. Iya hubungan kami memang sangat singkat
tapi entah kenapa saya merasa sudah lama mengenal dia, dan saya telah menemukan
sosok yang saya banget untuk menemani sisa hidup saya (sounds puitis banget?)
Karena
satu dan lain hal – yang tak bisa saya sebutkan di sini – kami, mau tak mau
kembali ke kehidupan masing-masing. Saya sedih? Tentu saja, saya tak bisa
berhenti menangis dari Badha Isya malam itu, saya sungguh butuh dekapan dan
butuh dikuatkan. Saya ingin sekali ada mama di samping saya, memberikan sebuah
pelukan. Sahabat yang paling dekat rumahnya dengan kost saya sedang bekerja dan
baru pulang jam 12 malam nanti. Cuma dia yang ada dipikiran saya saat itu yang
saya harap bisa menguatkan saya, dengan suara serak dan masih berlinang air
mata saya meneleponnya, meminta dia untuk segera pulang walaupun mustahil dia
lakukan. Beberapa kalimat dia ucap untuk menenangkan saya, namun saya tetap tak
bisa berhenti menangis. Mungkin di dunia parallel sana saluran pipa air mata
sedang bocor hingga air mata saya tak berhenti mengalir, pikir saya.
Paginya
mata saya bengkak, tentu saja. Suara saya hampir tak terdengar. Saya terpejam
hanya 3 jam, selebihnya saya habiskan untuk menangis dan masih tak percaya
semuanya harus seperti ini. Saya berterima kasih pada sahabat saya yang telah
menepati janjinya bahwa sepulang kerja nanti dia akan langsung menemui saya dan
memboyong saya untuk tidur di kamarnya.
Jangan
tanya rasanya seperti apa melewati hari-hari berikutnya. Melupakan seseorang
yang pernah jadi dambaan itu butuh perjuangan, apa lagi yang bersangkutan masih
suka keluyuran di sekitar kita. Rasanya kalau bisa, saya ingin kibarkan bendera
putih saja.
Sebagian
orang dengan sok tahunya mengatakan bahwa mengobati rasa sedih adalah dengan
mendengarkan musik, lalu berhasilkah jika lagu yang kita dengar seharian
bertemakan patah hati karena ditinggal pacar pergi? Saya sebutkan beberapa;
mulai dengan Creep dari Radiohead dan High and Dry- nya, Moving On dari
Kodaline, Best I Ever Had dari Vertical Horizon (ini yang paling menyedihkan
sih) sampai dengan Kerispatih dan Rossa
ikut ambil bagian sebagai penyebab saya menangis lagi waktu itu. Tapi saya akan
sangat setuju kepada mereka yang bilang bahwa obat terbaik adalah Mama.
Seminggu setelah kejadian penting itu saya ambil cuti satu hari. Lantas menemui
‘obat’ saya, mengadu dan menuntut petuah. Yang membuat saya bertekad menyudahi
drama tangis-tangisan ini adalah bukan karena sebuah pelukan dan belaian penuh
sayang di kepala dari Mama, melainkan saya melihat mama saya menangis pagi itu.
“Mama sedih memikirkan kamu“ Jawab
beliau ketika saya tanya mengapa.
Mau tak
mau saya harus terlihat kuat di hadapan mama, hati saya ngilu melihat beliau
menangis. Meskipun saya belum membaik tapi setidaknya saya punya alasan untuk
tetap kuat sekarang.
Sekembalinya
dari rumah saya berusaha menjalani kehidupan senormal mungkin, saya berusaha
meyakinkan diri bahwa saya sudah bisa melupakan dia. Sudah tak ada lagi
perasaan kepadanya. Tapi saya sadar semakin saya memaksa, semakin sulit proses
penyembuhan itu. Lantas saya memilih untuk berdamai dengan rasa sedih yang saya
alami, berdamai dan menikmati tiap tangis sebagai proses penyembuhan. Saya
tidak memaksa dan saya tidak punya kuasa
untuk mengatur segala rasa yang ada di dalam hati, karena sejatinya pemilik
hati bukan saya sendiri, saya hanya dipinjami. Saya benar-benar menikmati
proses ini, saya masih membiarkan bayangannya hadir dan mengendap-endap di
mimpi saya. Saya persilahkan dia menjadi lamunan saya, dan mengizinkan dia
berlama-lama berada di kepala saya. Sampai pada waktunya, saya yakin semua akan
menguap dan mengilang sendiri hingga saya lupa bagaimana sakitnya. Seperti kata
Sayidina Ali bin Abi thalib :
“Yakinlah ada sesuatu yang menantimu
selepas banyak kesabaran ( yang kau jalani ) yang akan membuatmu terpanan
hingga kau lupa pedihnya rasa sakit”
Kita mungkin tidak pernah tahu sampai kapan kita akan benar-benar sembuh dan menghilangkan 'dia'
sepenuhnya dari kehidupan kita. Namun terkadang memilih untuk berdamai dengan
rasa sakit lebih baik dari pada berpura-pura bahwa kita sudah baik-baik saja. Biarlah
semua seperti ini, sampai ia bosan lalu pergi sendiri tanpa harus kita beri aba-aba.
0 Comments